|
Tragedi cilok |
1/16/2009 |
Masih ingat jaman nakalnya kita waktu umur belasan tahun ? Saat saya masih pakai seragam SMP, kenakalan umum yang paling mewabah adalah memanggil nama teman dengan nama orang tuanya. Bisa nama ayahnya, atau lebih parah lagi nama ibunya. Saya kurang begitu tahu, apakah trend buruk ini juga melanda di kota-kota lain pada saat itu dan apakah hingga saat ini masih juga terjadi, tapi yang jelas itu adalah hal yang sangat tidak baik. Banyak korban-korban berjatuhan akibat wabah buruk ini, mulai dari berantem antar teman, dipanggil guru BP, bahkan sampai mendapatkan skorsing dari sekolah.
Kejadian paling parah adalah pengalaman memalukan yang dialami oleh seorang teman SMP saya, Prasetyo. Teman saya satu ini memang paling ketagihan kalau urusan harus memanggil dan mengejek teman lain dengan memanggil nama orang tuanya, hingga suatu saat benar-benar kena batunya. Adalah Nugroho, teman sekelas Prasetyo yang tiap hari berangkat-pulang sekolah dengan naik sepeda. Suatu hari karena suatu hal, Nugroho tidak bersepeda ke sekolah dan jadilah pada waktu pulang sekolah dia dijemput oleh bapaknya. Saat bubaran sekolah, Nugroho yang memang kalem dan pendiam berjalan santai menghampiri bapaknya yang sudah menunggu duduk di motor Vespanya di luar halaman sekolah. Ia duduk membonceng di belakang sang bapak, lalu Vespa pun segera meluncur ke jalan raya. Prasetyo berada beberapa meter tak jauh dari Vespa yang ditumpangi Nugroho dan bapaknya, sedang asyik makan jajanan cilok (aci dicolok, Jw: bakso kojek) favoritnya. Insting untuk memanggil nama bapak teman-temannya begitu terasah tajam, hapalan nama orang tua masing-masing teman sekelasnya pun sudah katam di luar kepala. Susah bagi dirinya untuk melewatkan setiap teman yang tertangkap oleh matanya, tanpa kemudian ia memanggilnya dengan nama bapaknya. Mungkin dia bisa sakaw bila tidak melakukannya. Tak terkecuali saat vespa yang dinaiki Nugroho dan bapaknya lewat di depan Prasetyo. Dengan segenap haribaan nuraninya, seluruh otot diafragma dan saraf pita suara yang ada, Prasetyo meneriakkan kata-kata yang ia yakin adalah nama milik bapak si Nugroho (nama bapaknya Nugroho adalah pak Mustar)
“MOOOSSSTAAAAAAAARRRRRRRRRR !! “, begitu keras hingga beberapa cilok di tangannya mencolot berjatuhan.
ciiiiiiiit …. tiba-tiba suara ban yang berdecit dari Vespa yang sedang berjalan, mengerem mendadak, lalu berhenti seketika Dengan sekali putar, Vespa itu berbalik dan menuju ke arah asal teriakan suara. Suara yang tentunya sangat menyakitkan bagi sang pengemudi Vespa. Nugroho yang duduk kursi dibelakang hanya pasrah, wajahnya bagaikan televisi LCD jaman sekarang, flat. Prasetyo mulai menyadari ke te-o-el-o-el an nya, melihat pak Mustar menuju ke arahnya. Seluruh badannya lemas tak berdaya hingga beberapa butir cilok kembali menggelinding dari plastik di genggaman tangannya jatuh ke tanah.
“Anda memanggil saya,…. ada perlu dengan saya ?”, pak Mustar bertanya tegas dengan nada tinggi. Wajahnya menunjukkan ekspresi marah, tidak suka. Tatap mata pak Mustar yang tajam menembus kacamatanya, membuat Prasetyo semakin menggigil, kaku dan sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Diam seribu bahasa, lalu wajahnya kini memerah.
”Mmmm mmmmaaaf pak,… ss ssaya kira tadiii…ituuu mmmm pffff “, Prasetyo tergagap, satu butir lagi cilok menggelinding jatuh dari tangannya. |
posted by Aris Hidayat @ 8:22 AM |
|
|
|
|
Post a Comment